Indonesian All Stars: Djanger Bali

Posted on: 01/05/2014, by :

 

DjangerBali

Djanger Bali oleh Indonesian All Stars (IAS) merupakan salah satu dokumen penting karya seni khususnya dalam sejarah pertumbuhan musik jazz di Indonesia. IAS merupakan sebuah kelompok yang memainkan musik jazz dan para personilnya bisa dikatakan sebagai para pelopor musik jazz Indonesia; termasuk seorang pemain alat tiup jazz berkelas internasional dari Amerika Serikat. Tidak itu saja, penampilan mereka juga mendapat perhatian dan pengakuan dunia internasional.

Cikal bakal IAS sudah muncul sejak awal dekade 1960 dengan berkunjungnya Tony Scott ke Indonesia. Semasa Indonesia masih dipimpin Bung Karno, Tony Scott sempat berkunjung, bermusik dan mengajar di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut dia banyak berinteraksi dan bermain dengan para musisi jazz Indonesia pada waktu itu. Sayangnya keberadaan beliau tidak lama karena dia sempat membuat masalah dengan Bung Karno ketika dia tampil di Istana Negara yang menyebabkan dia diperintahkan untuk segera meninggalkan Indonesia.

Sesudahnya, saat dia di Eropa, Tony Scott bertemu dengan seorang produser, penulis, dan kritikus jazz terkemuka dari Jerman, Joachim E. Berendt, di mana Scott sempat bercerita tentang musisi-musisi jazz Indonesia yang dikenalnya. Pada sekitar awal 1966, Berendt berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan sebagian dari mereka. Sebagai tindak lanjutnya pada tahun 1967 Berendt dan rekan-rekannya memanggil mereka untuk tampil dan rekaman di Jerman sebagai Indonesia All Stars. Untuk menambah daya tarik kelompok ini, Tony Scott kembali dipadukan mereka.  Hal ini bagaikan pedang bermata dua: karena Scott sudah kenal dan tahu permainan mereka plus keberadaan Scott memberikan kemungkinan lebih besarnya animo calon pendengar.  Bagaimana pun, nama Tony Scott jauh lebih dikenal di Eropa saat itu ketimbang musisi-musisi Indonesiatersebut.

Dokumentasi rekaman IAS tercipta selagi mereka berada di Jerman Barat untuk tampil di Berlin Jazz Festival dan beberapa klub jazz. Walau pun pada waktu festival itu Maryono jatuh sakit keras di atas panggung sehingga kelompok tersebut tidak bisa tampil secara penuh, Bubi Chen sempat ber-jam sessions bersama para musisi jazz internasional seperti Philly Joe Jones, Manfred SchoofTony Scott, dan lain-lain.

Rekaman mereka di SABA Records studio pada 27 dan 28 Oktober 1967 melahirkan sebuah album yang berjudul “Djanger Bali”. Album ini kemudian sempat dilepas kembali di awal 1969 atau 1970 ketika SABA diambil alih atau dikonsolidasikan dengan MPS/BASF. Dalam bentuk digital, kita masih bisa mendapatkan album tersebut sebagai rangkaian produk dari MPS “Jazz Meets the World No. 2: Jazz Meets Asia”.

Para pemain IAS secara lengkapnya adalah Bubi Chen (piano, kecapi), Jack Lesmana (gitar), Maryono (tenor sax, flute & vokal), Yopi Chen (bass), Benny Mustafa van Diest (drum) serta seorang bintang tamu yang sudah akrab dengan mereka semua sebelumnya Tony Scott (klarinet). Selain dipercaya sebagai pianis kelompok tersebut, Bubi Chen juga membawa kecapi untuk mengusung identitas instrumen tradisional Indonesia untuk menunjukkan tempat asal mereka. Dan juga sekiranya untuk menunjukan kekayaan eksplorasi yang dapat dikembangkan lewat musik jazz dengan berbagai bentuk kebudayaan dari sepenjuru dunia. Di samping itu, hal ini adalah usaha mereka untuk memperkenalkan musik tradisional Indonesia yang dipadukan dengan jazz ke dunia internasional sebelum kelompok-kelompok kontemporer sesudahnya, seperti Krakatau, yang kita kenal sekarang melakukan hal yang serupa.

Dalam album ini terdapat 6 komposisi yang terdiri dari 3 komposisi tradisional Indonesia, 1 komposisi baru bernafaskan tradisional, 1 komposisi standard, dan 1 komposisi baru pada saat itu dari Eropa. Dari sisi tradisional, ‘Djanger Bali’ (karya Bubi Chen), ‘Gambang Suling’, ‘Ilir-Ilir’, dan ‘Burungkaka Tua’. Dari sisi standard ‘Summertime’ sementara dari sisi kontemporer Eropa ‘Mahlke’.

Menurut Bubi Chen, ‘Djanger Bali’ ditulisnya berdasarkan inspirasi dari tarian tradisional populer dari Bali ‘Djanger’.  Seperti yang bisa kita bayangkan, komposisi dan improvisasi nya merujuk kepada salah satu tangga nada musik klasik tradisional dari Bali. Sisipan bunyi gamelan dari Bali lewat dentingan piano muncul di awal dan akhir komposisi ini sementara di antaranya dimunculkan kesan tersebut dengan suara gitar yang seolah-olah menjadi suara gong.

Komposisi selanjutnya adalah ‘Mahlke’.  Sayangnya, ‘Mahlke’ hanya bisa didapatkan di piringan hitam karena lagu tersebut tidak diturut sertakan dalam bentuk digital ketika dilepas ulang dalam bentuk CD. Bagaimana sampai mereka dapat berpikir untuk memainkan lagu tersebut dan merekamnya? Joachim Berendt ketika datang ke Indonesia membawa pita kaset album milik Attila Zoller hasil rekaman-nya untuk SABA yang saat itu masih dalam proses mastering dan belum dilepas secara umum. Di dalamnya terdapat ‘Mahlke’, yang sebenarnya merupakan sound-track dari sebuah film Jerman yang berjudul “Katz und Maus,” yang diangkat dari hasil karya tulis Gunter Grass. Setelah Jack Lesmana mendengar lagu tersebut, dia menjadi gemar dan dalam waktu singkat mampu menguasainya. Ketika IAS diboyong ke Jerman, mereka sudah bisa memainkan lagu itu secara baik dan akhirnya direkam sebagai salah satu lagu di dalam album “Djanger Bali”. Nampaknya ini dilakukan sebagai daya upaya untuk memancing orang-orang yang tidak atau kurang mengerti musik tradisional Indonesia – yang dikombinasi jazz – untuk mengetahui kalau mereka ini  juga dapat memainkan komposisi straight ahead. Solo Jack Lesmana menunjukkan secara tegas kepiawaian dirinya sebagai salah satu gitaris jazz terhandal dari negeri kita sepanjang masa.

Permainan kecapi Bubi Chen dan flute Maryono dalam ‘Gambang Suling’ menambah kesyahduan nuansa Jawa di album ini. Teknik call and response yang dilakukan secara gemulai oleh Bubi Chen lewat dentingan piano dan petikan kecapinya memberikan makna terdalam dalam improvisasi komposisi ini. Selipan double-time yang cerdik memberikan nuansa penuh swing. Ini juga menunjukkan pengaruh tradisi gamelan Bali dengan dinamika yang sangat menonjol.

Lirik ‘Ilir-ilir’ dinyanyikan oleh Maryono namun sepertinya tidak dengan penghayatan yang mendalam. Namun demikian, solo saxophone Maryono di komposisi ini menunjukkan kelas beliau sebagai seorang instrumentalis kelas dunia yang layak disandingkan dengan Archie Shepp; yang menurut penulis merupakan salah satu sumber inspirasi teknik dan solo improvisasinya.

‘Burungkaka Tua’ merupakan contoh teknik permainan modal yang paling menonjol di album ini. Jika didengar secara sekilas mungkin anda tidak bisa mengenali komposisi ini sebagai ‘Burungkaka Tua’ yang akrab dalam benak anda.  Secara linear dan dekonstruktif, komposisi ini dipilah dan didaur ulang sedemikian rupa menjadi sebuah komposisi baru yang menawan.

‘Summertime’ menunjukan IAS menguasai komposisi standard ini dan bahkan dengan citra latar musik Sunda memberikan identitas khas yang hanya bisa dilakukan oleh kelompok ini. Solo improvisasi Bubi Chen merupakan bagian terpenting dari komposisi  ini. Secara unik, dia juga secara langsung, sengaja atau tak sengaja, menunjukkan latar belakang musik klasik yang masih cukup kental dalam dirinya pada saat itu. Pengaruh berbagai komposisi piano karya Chopin bisa didengar dalam solonya.

Menariknya secara global pada waktu itu gerak musik jazz sedang dalam masa penuh semangat mencari pendekatan baru untuk mengembangkan interaksinya dengan jenis musik lain. Hal ini menjunjukan juga ide segar dan keberanian IAS yang tentunya didukung oleh dorongan dan visi akan perkembangan musik jazz di Indonesia khususnya. (ADT)

Tulisan ini sudah pernah diterbitkan sebelumnya di situs WartaJazz.com di tahun 2003.

6 thoughts on “Indonesian All Stars: Djanger Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Translate »