Nick Mamahit Presents: Music From The Jakarta Mandarin
Posted on: 01/15/2015, by : Kurator Arsip
Diri Nick Mamahit adalah sebuah paradigma dan album ini menambah kokoh pernyataan tersebut. Merupakan sebuah keberuntungan bagi dunia musik Jazz di Indonesia bahwa album ini tercipta; berkat kerja sama beliau dengan John M. Daniels, yang saat itu bekerja dengan hotel Mandarin sebagai salah satu manager mereka dan yang juga, menurut Oom Nick, memberikan ide untuk menciptakan album ini. Walau Oom Nick memiliki beberapa album lainnya, seperti beberapa buah piringan hitam yang dibuat untuk Irama dan album kaset dari Hidayat, Music from the Jakarta Mandarin merupakan satu-satunya bukti terekam keberadaan dan perkembangan musik Oom Nick semenjak paruh akhir 70-an sampai akhir 80-an.
Tentu saat ini sudah diketahui secara umum bahwa selama lebih dari satu dekade, akhir 70-an sampai 90-an, Oom Nick menjadikan hotel Mandarin sebagai rumah keduanya. Setiap kali saya mencoba bertandang ke rumah Oom Nick, selalu saja diberikan jawaban yang sama oleh sang pembantu rumah tangga, “Wah, Pak Nick ada di Mandarin,” dan saya langsung ganti haluan, mengarahkan mobil ke Mandarin. Setiap kali Oom Nick melihat saya di Mandarin selalu beliau berkata, “Apa kabar, jij? Sana, pergi sekolah, ngapain di sini?” sambil bertampang serius yang kemudian justru disambung dengan sebuah senyum lebar. Sangat terkenang sekelumit pengalaman tersebut di hati saya.
Walau tergolong sebagai musisi angkatan senior, yang memulai karirnya diparuh pertama revolusi kemerdekaan Indonesia, Oom Nick justru selalu menunjukkan keinginannya untuk lebih mengerti perkembangan musik sesuai jaman. Tak aneh di album ini bisa kita dengarkan pengaruh funk, sentilan ceria disco, samba, bossa, bahkan sampai pop Hong Kong yang merajalela di benua Asia. Namun demikian, gaya swing piano Oom Nick tetap yang paling kuat terasa di album ini. Jarang Oom Nick memainkan komposisi dengan tempo cepat karena justru kekuatannya terletak dikemampuan menggali sebuah komposisi dengan tempo sedang. Namun itu tidak berarti Oom Nick tidak mampu memainkan komposisi dengan tempo cepat. Di saat yang tepat sang pendengar justru dapat dibuat terkagum-kagum akan kemampuannya dalam memainkan komposisi up-tempo.
Pilihan komposisi-komposisi di album ini mencerminkan kekhasan Oom Nick semenjak tahun 50-an. Tema Sabda Alam yang dimainkan solo oleh Oom Nick membuka album ini, memberikan ciri latar belakang musik klasik yang sempat didalaminya di Belanda, yang kemudian diteruskan dengan variasi tema tersebut, ditemani oleh bass dan drums. Gubahanku karya Gatot Sunyoto diberikan sentuhan funk dan flute Wiharto, yang telah lama tak terdengar suaranya, menjadi pembuka tema komposisi ini. Bridge dimainkan oleh Oom Nick sebelum flute kembali masuk dan memberikan variasi kepada tema tersebut. Solo piano Oom Nick di Gubahanku agak condong ke model permainan Erroll Garner sementara solo flute Wiharto membuat saya berpikir apakah Sam Most merupakan salah satu idolanya.
Sarinande, komposisi yang sering dimainkan oleh Oom Nick semenjak ditemukan lagu itu olehnya ditahun 50-an, menjadi contoh nyata apa yang saya katakan sebelumnya tentang beliau yang tumbuh berkembang. Jika dibandingkan antara Sarinande di PH Irama dan di album ini, terdengar sentuhan lebih modern darinya. Permainan drums Karim (Suweileh) yang lembut namun tepat di setiap saat memberikan warna tersendiri. Tak heran kalau Oom Nick selalu berusaha menggunakan Karim sebagai pengiringnya. Tema Layu dimainkan dengan tenor sax oleh Wiharto sebelum Oom Nick terjun masuk dengan solonya yang gemulai. Yang saya selalu pikirkan semenjak pertama kali mendengarkan komposisi ini adalah alangkah baiknya jika Dicky Prawoto, sang pemain bass, diberikan kesempatan bersolo disini. Gaya contemporary jazz lagu ini cocok dijadikan media solo, kala menimbang gaya permainan Dicky.
Mimpi Sedih menunjukkan daya kreasi Oom Nick dalam mengolah nada komposisi itu dan selingan tenor sax Wiharto membuat saya sejenak berpikir apakah Ernie Watts hadir sebagai bintang tamu. Flute Wiharto menjadi perhatian utama di Gambang Suling, yang uniknya sama dilakukan kala komposisi ini dimainkan oleh Marjono di album Djanger Bali. Apakah mungkin memang sengaja dilakukan untuk memberikan rasa hormat ke album tersebut? Solo Oom Nick menjelmakan nilai-nilai karawitan dan juga perhatikan bagaimana dia membangun solonya, bar demi bar, sampai kesatu titik kulminasi dan tiba-tiba secara cerdik memasukkan sekelumit nada Round Midnight karya Thelonius Monk.
Cempaka Wangi dimainkan dengan irama bossa yang segar, suatu cara yang sangat mengena. Solo Oom Nick membuat saya berpikir apakah dia pada suatu saat merupakan sumber inspirasi Bubi Chen. Jika didengar secara seksama anda akan mengerti kenapa saya berkomentar demikian. Bengawan Solo merupakan satu keunggulan album ini. Ketika swing dipadukan dengan karawitan dan sedikit sentuhan Bach sebagai cara memainkan komposisi ini, mungkin kita akan bertanya apakah akan bekerja. Ternyata terbukti efektif dan tampil berdiri sebagai suara yang amat khas dari. Medley Sipatokan – Gorone – Kampung di isi dengan suara riang flute sebagai media utama, driving bass dan variasi tema melalui piano yang singkat-singkat namun berisi. Sepanjang Jalan Kenangan dimainkan secara up-tempo samba. Tidak lazim menimbang latar belakang komposisi tersebut, namun justru secara unik memberikan jiwa baru padanya. Widuri diberikan sentuhan contemporary jazz, secara keseluruhan sebuah penutup yang manis.
Saya tak bisa membayangkan seseorang yang menggemari Jazz untuk tidak menyukai album ini. Oom Nick tentu terdengar vokal di album ini namun jika dipandang sebagai kerja sebuah kelompok, album ini menunjukkan hasil kerja yang sepadan. Setidaknya sebagai sebuah kelompok mereka terbukti mengerti satu dengan lainnya. Sayang, dengan berakhirnya masa kerja jangka panjang Oom Nick di Mandarin berakhirlah pula usia kelompok ini.
Album yang awalnya dijual secara umum tidak pernah mendapatkan pemasaran yang luas, sama nasibnya dengan belasan album Jazz Indonesia lainnya, dan tak lama kemudian hilang dari peredaran. Walau sempat dijadikan CD ditahun 2001, peredarannya di kalangan terbatas dan dengan jumlah yang sekitar 100 keping tidak menambah arti yang banyak, selain dana yang didapat dari penjualan itu kemudian digunakan untuk menjaga kelestarian koleksi buku-buku musik Oom Nick. Semoga di suatu hari nanti album ini diberi kesempatan untuk lebih dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Namun untuk sementara tetaplah album ini menjadi bahan koleksi langka. Jika bisa didapat di toko musik bekas segeralah membelinya tanpa berpikir panjang. Kualitas musik album ini dapat mengimbangi berapapun jumlah uang yang anda keluarkan. (ADT)
Atlantic Records
ARI DEPT 024 (kaset)
Side A:
1. Sabda Alam – Ismail Marzuki
2. Gubahanku – Gatot Sunyoto
3. Sarinande – N.N. (tradisional)
4. Layu Sebelum Berkembang – A. Riyanto
5. Mimpi Sedih – A. Riyanto
6. Gambang Suling – N.N.
7. Cinta Pertama – Harlan
Side B:
1. Cempaka Wangi – A. Usman
2. Bengawan Solo – Gesang
3. Sipatokan – Goro Gorone – Kampung Nan Jauh Dimata – N.N (tradisional)
4. Sepanjang Jalan Kenangan – Is Haryanto
5. Widuri – Adriyadie
6. Layu Sebelum Berkembang (Reprise) – A. Riyanto
7. Mimpi Sedih (Reprise) – A. Riyanto
8. Sepanjang Jalan Kenangan (Reprise) – Is Haryanto
Pemusik:
Nick Mamahit – piano
Wiharto – tenor sax, flute
Dicky Prawoto – bass
Karim – drums
Tulisan ini pernah diterbitkan di WartaJazz.com.
Sepanjang Jalan Kenangan: